Perkembangan Sosio Intelektual Anak
Oleh : Lilis Nurteti
lilissuma@gmail.com
Pendahuluan
The golden age, masa keemasan, adalah periode yang amat penting bagi seorang anak. Pendidikan pada rentang usia tersebut sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya. Masa-masa emas tersebut berada dalam rentang usia 0-6 tahun. Berbagai penelitian membuktikan betapa pentingnya menanamkan nilai-nilai yang baik pada seorang anak dalam periode usia keemasan itu. Kecerdesan seorang anak, menurut penelitian, mencapai 50 persen pada usia 0-4 tahun. Hingga usia 8 tahun kecerdasannya meningkat sampai 80 persen, dan puncaknya (100 persen) di usia 18 tahun. Tetapi kesadaran pentingnya sentuhan yang terencana di usia dini ini belum disadari betul oleh sebagian masyarakat. Masa-masa berharga itu masih terabaikan, walaupun banyak pakar, pendidik, dan pemerhati anak sudah selalu mendengungkannya di ruang-ruang seminar dan di media massa. Sentuhan dan penanaman nilai-nilai kepada anak usia dini selama periode keemasan itu, selain memupuk kecerdasan dengan harapan tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, juga harus disertai dengan penanaman nilai-nilai sosial atau modal sosial (social capital) dan moral sebagai bekal dalam menjalani kehidupan di masa-masa selanjutnya. Modal sosial juga menjadi bekal kehidupan yang penting dan mendasar untuk menyelesaikan konflik dari berbagai persoalan. Ini terbentuk melalui kesadaran yang mendalam bahwa manusia pada hakekatnya diciptakan secara berbeda-beda. Perbedaan pendapat, persepsi, dan tujuan sudah menjadi sesuatu yang lazim. Toleransi, pengertian, dan penghargaan atas keberagaman dan perbedaan inilah yang menjadi modal utama untuk mewujudkan modal sosial. Kemampuan untuk menerima dan menghargai perbedaan pendapat perlu ditanamkan sejak dini pada setiap anak. Anak-anak dikenalkan sekaligus dibekali social life skill, seperti belajar menerima dan menghadapi perbedaan, rasa suka dan tidak suka, setuju dan tidak setuju, berbeda posisi depan dan belakang. Penanaman dalam perilaku dapat dilakukan secara langsung oleh orang tua dan melalui program-program pendidikan, pembiasaan, dan stimulasi yang tepat bagi si buah hati. Pendidikan usia dini memiliki peranan penting dalam membentuk karakter anak yang bermoral dan berakhlak mulia, kreatif, inovatif, dan kompetitif. Pendidikan usia dini, menurut Fasli Jalal dalam sambutan di sebuah buku modul -- saat itu Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas -- bukan sekadar meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan yang terkait dengan bidang keilmuan. Lebih dari itu adalah mempersiapkan anak agar kelak mampu mengusai berbagai tantangan di masa depan (http://groups.yahoo.com/group/buku-islam/message/4682/211008).
Pendidikan untuk anak usia dini tidak hanya merupakan proses mengisi otak dengan berbagai informasi sebanyak mungkin, melainkan proses menumbuhkan, memupuk, mendorong, dan menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin. Pendidikan bukan didasarkan atas apa yang terbaik menurut orang dewasa tapi didasarkan apa yang terbaik untuk anak
1. Perkembangan Sosial Anak
Manusia hidup mengalami perkembangan, Menurut Moh. Kasiram perkembangan adalah “suatu proses perubahan yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, baik perubahan itu berupa bertambahnya jumlah atau ukuran dari hal-hal yang telah ada, maupun perubahan karena timbulnya unsur-unsur yang baru”. Selanjutnya menurut Sumadi Surya Brata (1990:71) menyatakan bahwa perkembanagan adalah “perubahan kearah yang lebih maju, lebih dewasa”.
Secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk social (zoon politicon), kata Plato. Namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain (ingat kisah Singh Zingh di India dan di Prancis, bayi yang disusui dan dibesarkan binatang tidak dapat dididik kembali untuk menjadi manusia biasa).
Syamsu Yusuf (2007) menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagao proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi ; meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (855) perkembangan sosial adalah suatu proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus menuju pendewasaan yang memerlukan adanya komunikasi dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas dapat di simpulkan bahwa perkembangan sosial adalah suatu proses perubahan yang berlangsung secara terus menerus menuju pendewasaan.
Pada awal manusia dilahirkan belum bersifat sosial, dalam arti belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya.
Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain telah dirsakan sejak usia enam bulan, disaat itu mereka telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah (tidak senang mendengar suara keras) dan kasih sayang. Sunarto dan Hartono (1999) menyatakan bahwa :
Hubungan sosial (sosialisasi) merupakan hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Hubungan sosial mulai dari tingkat sederhana dan terbatas, yang didasari oleh kebutuhan yang sederhana. Semakin dewasa dan bertambah umur, kebutuhan manusia menjadi kompleks dan dengan demikian tingkat hubungan sosial juga berkembang amat kompleks.
Dari kutipan diatas dapatlah dimengerti bahwa semaKin bertambah usia anak maka semakin kompleks perkembangan sosialnya, dalam arti mereka semakin membutuhkan orang lain. Tidak dipungkiri lagi bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak akan mampu hidup sendiri, mereka butuh interaksi dengan manusia lainnya, interaksi sosial merupakan kebutuhan kodrati yang dimiliki oleh manusia. Clifford T. Morgan (1986 : 85) menyatakan bahwa “respon sosial pertama adalah kasih sayang (attachment) pada bayi-bayi dari ibunya dalam bulan-bulan pertama masa kehidupan”. Pendapat ini menjelaskan bahwa manusia sejak ia dilahirkan sudah merupakan makhlusk sosial. Manusia membutuhkan orang lain yang akan memberikan kasih sayang dan perhatian padanya. Ini dapat di lihat pada bayi yang baru lahir, di mana bayi tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhannya. Orang tua dan orang dewasa lainnyalah yang memberikan kasih sayang dan perhatian pada bayi mulai dari memberi makan, minum, pakaian, tempat tinggal sampai pendidikannya. Hubungan sosial yang dilakukan anak pada masa kanak-kanak dapat menentukan perkembangan sosialnya di masa yang akan datang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Elizabeth B. Hurlock ( 1991 : 261 ) bahwa : pada masa ini sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain meningkat dan ini sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial mereka. Melalui hubungan sosial anak belajar bergaul dengan orang-orang yang diluar lingkungan rumah, terutama dengan teman sebayanya. Perkembangan sosial bagi anak sangat di perlukan, karena anak merupakan manusia yang tumbuh dan berkembang yang akan hidup di tengah-tengah masyarakat. Menurut Elizabeth B. Hurlock ( 1991 : 250 ) “pada masa kanak-kanak merupakan awal kehidupan sosial yang berpengaruh bagi anak, dimana anak akan belajar mengenal dan menyukai orang lain melalui aktifitas social”. Apabila pada masa kanak-kanak ini anak mampu melakukan hubungan sosial dengan baik akan memudahkan bagi anak dalam melakukan penyesuaian sosial dengan baik dan anak akan mudah di terima sebagai anggota kelompok sosial di tempat mereka mengembangkan diri. Perkembangan sosial anak dapat dibantu oleh Guru di Taman Kanak-Kanak, di mana guru akan membantu anak untuk melakukan penyesuaian diri baik dengan teman sebayanya, maupun dengan guru-guru yang ada di sekolah. Ada suatu perbedaan kemampuan penyesuaian sosial antara anak yang mendapatkan pendidikan pra-sekolah dengan anak yang tidak mendapatkan pendidikan pra-sekolah, sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Soetarno ( 1984 : 47 ) menyatakan bahwa “melalui Pendidikan Pra Sekolah anak melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan pra sekolah”. Alasannya adalah di Taman Kanak-Kanak, anak-anak di persiapkan secara lebih baik untuk melakukan partisipasi yang aktif dalam kelompok dibandingkan dengan anak-anak yang aktifitas sosialnya terbatas. Pengalaman sosial anak di Sekolah (Taman Kanak-Kanak) akan lebih berkembang dibawah bimbingan guru yang terlatih yang membantu perkembangan hubungan sosial yang menyenangkan.disamping itu guru juga berusaha membantu anak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari lingkungannya dan menghindari kemungkinan timbulnya perilaku social yang tidak baik. Melakukan penyesuaian sosial yang baik bukanlah hal yang mudah. Kesalahan dalam penyesuaian sosial dapat mengakibatkan banyak anak yang kurang dapat menyesuaikan diri, baik secara sosial maupun secara pribadi, masa kanak-kanak mereka tidak menyenangkan dan apabila mereka tidak belajar mengatasi kesulitan mereka dalam hubungan social, mereka akan tumbuh menjadi orang yang malasuai ( mala ajas tide ) anak tidak bahagia. Perkembangan perilaku social ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau dengan saudara kandung atau melakukan kegiatan dengan anggota-anggota keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin kuat. Hal ini berlaku untuk anak laki-laki maupun perempuan. Anak laki-laki cenderung mempunyai hubungan teman sebaya yang lebih luas daripada anak perempuan. Ia lebih suka bermain kelompok daripada hanya dengan satu atau dua anak. Sebaliknya, hubungan sosial anak perempuan lebih intensif dalam arti bahwa ia lebih sering bermain dengan satu atau dua daripada dengan seluruh kelompok. Sifat-sifat kepribadian penting dalam memilih teman. Anak yang lebih besar memberi nilai tinggi pada kegembiraan, keramahan, karjasama, kebaikan hati, kejujuran, kemurahan hati, dan sportivitas. Menjelang masa kanak-kanak akhir, anak lebih menyukai teman dari latar belakang sosial ekonomi, ras dan agama yang sama, khususnya sebagai teman baik. Menurut R.Soetarno ( 1989 : 48 ) ada 4 hal yang menimbulkan kesulitan bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri dengan baik yaitu : Bila pola perilaku sosial yang buruk dikembangkan di rumah, anak akan menemui kesulitan untuk melakukan penyesuaian sosial yang baik diluar rumah, meskipun dia di beri motivasi kuat untuk melaksanakanya. Anak yang di asuh dengan metode otoriter, misalnya sering mengembangkan sikap benci terhadap teman sebayanya karena pola asuh yang serba membolehkan di rumah, anak akan menjadi orang yang tidak mau memperhatikan keinginan orang lain, merasa bahwa ia dapat mengatur dirinya sendiri.
Bila rumah kurang memberikan model perilaku untuk ditiru, anak akan mengalami hambatan serius dalam penyesuaian sosialnya diluar rumah. Anak yang di tolak oleh orang tuanya atau meniru perilaku orang tua yang menyimpang akan mengembangkan kepribadian yang tidak stabil, agresif, yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan yang penuh dendam atau bahkan kriminalitas.
Kurangnya motivasi untuk belajar melakukan penyesuaian sosial sering timbul dari pengalaman social awal yang tidak menyenangkan dirumah atau di luar rumah. Sebagai contoh anak yang selalu digoda atau diganggu oleh saudaranya yang lebih tua atau yang di perlakukan sebagai orang yang tidak di kehendaki didalam permainan mereka, anak tidak akan memiliki motivasi kuat untuk berusaha melakukan penyesuaian sosial yang baik di luar rumah.
Meskipun memiliki motivasi kuat untuk belajar melakukan penyesuaian sosial yang baik, anak tidak mendapatkan bimbingan dan bantuan yang cukup dalam proses belajar ini. Misalnya apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan dapat “ menguasai ‘’ agretivitasnya.
Hubungan sosial pada anak berkembang melalui peniruan atau mengamati satu sama lain untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara social. R. Soetarno ( 1989 : 49 ) menyatakan ada 4 kriteria yang dapat di terapkannya yaitu :
Penampilan nyata.
Bila perilaku sosial anak seperti yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, dia akan menjadi anggota yang di terima di kelompok.
Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok.
Anak yang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok. Baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa. Secara sosial di anggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Sikap sosial.
Anak harus menunjukan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap perannya dalam kelompok sosial.
Kepuasan Pribadi.
Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial anak harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota (http://www.siaksoft.net/index.php?option=com_content&task=view&id=2381&Itemid=105/21/10/08). To be continued...